Tubinnews.com – Mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) bukan pekerjaan biasa. Tugas ini menuntut bukan hanya pengetahuan akademik, tapi juga kesabaran ekstra dan pemahaman mendalam tentang karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK).
Namun realitanya, banyak guru di SLB yang berlatar belakang non-Pendidikan Luar Biasa (non-PLB). Tanpa bekal akademik khusus, para guru ini rentan stres, frustrasi, bahkan mengalami burnout.
Sebuah studi yang dilakukan Dwi Iramadhani, Putriani, Rahma Fazila, dan Entan Afrilia di wilayah Lhokseumawe dan Aceh Utara mengungkap sebanyak 43,7% guru non-PLB berada dalam kategori rendah dalam hal regulasi emosi.
Banyak dari mereka mengaku mudah marah, kehilangan kendali, bahkan pernah mencubit atau berteriak saat menghadapi siswa ABK yang sulit diatur.
Dalam penelitian berjudul “Psikoedukasi: Intervensi Untuk Memberikan Pemahaman Regulasi Emosi dan Strategi Adaptasi Guru SLB Aneuk Nanggroe Menghadapi Stres dan Frustrasi Akibat Kesulitan Dalam Menangani ABK“, yang dipublikasikan Jurnal Pengabdian Kolaborasi dan Inovasi IPTEKS, disebutkan regulasi emosi menjadi kunci dalam menghadapi tekanan mengajar di SLB.
Guru yang tidak mampu mengatur emosinya bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat berdampak negatif pada hubungan dengan siswa dan proses belajar. Karena itu, diperlukan intervensi yang menyentuh tiga lapisan: individu, kelompok, dan sistem sekolah.
Pada tingkat individu, psikoedukasi terbukti membantu guru mengenali dan mengelola stres. Teknik seperti mindfulness, pernapasan dalam, restrukturisasi kognitif dengan pendekatan CBT, hingga journaling reflektif bisa membantu menenangkan pikiran dan memahami respons emosional.
Sementara itu, pada tingkat kelompok, dukungan sosial dari sesama guru menjadi penting. Diskusi sebaya, workshop bersama, hingga supervisi dengan psikolog pendidikan mampu menjadi ruang saling menguatkan. Studi sebelumnya menunjukkan rasa memiliki komunitas dan dukungan emosional sangat membantu guru dalam menghadapi tekanan harian di kelas.
Namun intervensi personal saja tak cukup jika tidak diiringi perbaikan pada level sistem. Sekolah perlu menyediakan pelatihan dasar PLB bagi guru non-PLB, memberikan ruang konseling, serta meninjau ulang beban kerja dan sistem apresiasi bagi tenaga pendidik. Tanpa perubahan sistemik, upaya individual bisa seperti menimba air di perahu bocor.
Program psikoedukasi yang dikembangkan dalam penelitian ini menjadi titik awal yang menjanjikan untuk membantu guru memahami emosi mereka dan mengubah pola respons terhadap tekanan.
SLB bukan hanya tempat untuk mendidik ABK, tetapi juga ruang bagi para guru untuk tumbuh dalam lingkungan yang mendukung. Karena kesejahteraan mental guru adalah fondasi dari pendidikan yang berkualitas dan berempati.
Catatan: Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian “Psikoedukasi: Intervensi Untuk Memberikan Pemahaman Regulasi Emosi dan Strategi Adaptasi Guru SLB Aneuk Nanggroe Menghadapi Stres dan Frustrasi Akibat Kesulitan Dalam Menangani ABK”, yang telah dipublikasikan dalam Jurnal Pengabdian Kolaborasi dan Inovasi IPTEKS. Selengkapnya dapat dibaca di: https://journal.ppmi.web.id/index.php/JPKI2/article/view/1399.