Oleh: Isra Fu’addi [Pemerhati Isu Aceh/Aktivis Muda Aceh]
Kita tidak sedang membahas hilangnya satu dua gugusan batu karang. Kita sedang bicara tentang bagaimana nasib wilayah bisa berubah hanya dengan tanda tangan pejabat pusat—tanpa daya tangkal dari elite dan struktur politik Aceh sendiri.
Pertanyaannya sekarang bukan sekadar “kenapa pulau kita diambil?” tapi “apa kita masih punya kekuatan untuk mengambilnya kembali?”
Politik Aceh: Besar di Daerah, Kecil di Pusat?
Sejak UUPA disahkan tahun 2006 sebagai hasil perjanjian damai Helsinki, Aceh punya posisi istimewa secara hukum dan politik. Tapi status istimewa tanpa daya tawar hanyalah teks kosong. Hilangnya empat pulau ini menyingkap sebuah kenyataan pahit: kita lemah dalam diplomasi pusat.
Apa yang sedang diuji dalam persoalan ini adalah, Pertama sejauh mana Pemerintah Aceh mampu membangun argumentasi hukum dan politik di meja Jakarta. Kedua sejauh mana perwakilan Aceh di DPR RI bisa menjadikan ini agenda bersama, bukan hanya isu lokal Aceh Singkil, dan terakhir sejauh mana elite politik Aceh bisa melawan secara cerdas, terstruktur, dan strategis, bukan hanya dengan retorika media.
Sampai hari ini, kita belum melihat sikap kolektif yang kuat. Belum ada tim hukum terpadu dari Pemerintah Aceh untuk menggugat keputusan Mendagri. Belum ada dorongan dari DPD RI asal Aceh untuk meminta klarifikasi resmi. Belum terlihat kekuatan politik Aceh sebagai satu barisan yang menggetarkan pusat.
Padahal kalau Aceh serius, banyak instrumen bisa digunakan: dari judicial review, tekanan publik, lobi lintas kementerian, hingga tekanan politik di Komisi II DPR RI.
Tantangan Bagi Para Elit Aceh
Penulis melihat ini sebagai ujian sejarah. Apakah para elit Aceh hari ini—baik eksekutif maupun legislatif—masih punya keberanian, ketegasan, dan visi untuk menjaga marwah dan wilayah Aceh? Atau mereka hanya sibuk memperpanjang jabatan dan mengamankan kursi masing-masing?
Empat pulau itu hanyalah awal. Jika ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin perairan laut, blok migas, dan pulau-pulau lain akan menyusul. Maka pertanyaannya bukan hanya soal “bisa dikembalikan atau tidak?”, tetapi siapa yang benar-benar bersedia memperjuangkannya?
Jangan Biarkan Aceh Dihapus Secara Diam-diam
Aceh hari ini menghadapi tantangan yang sangat nyata. Bukan perang senjata, bukan pemberontakan, tapi penghilangan perlahan identitas dan wilayah melalui proses hukum yang tak disadari. Dan ketika itu terjadi, bukan pusat yang salah sendiri—tapi kita yang diam, sibuk dengan urusan sendiri, dan gagal membangun satu kekuatan politik yang disegani.
Empat pulau itu sekarang jadi cermin. Apakah Aceh hari ini masih punya daya atau sudah menyerah?