Banda Aceh | Tubinnews.com – Dua dekade setelah MoU Helsinki diteken pada 2005, gema damai yang menjadi fondasi harapan Aceh tampaknya belum sepenuhnya terwujud.
Penasehat Gubernur Aceh Bidang Investasi dan Hubungan Luar Negeri, T. Emi Syamsyumi, atau dikenal sebagai Abu Salam, menilai bahwa perjalanan 20 tahun ini justru memperlihatkan jarak yang semakin jelas antara butir perjanjian dan realitas yang berjalan.
Dengan nada yang tenang namun sarat renungan, Abu Salam menyebut bahwa diskusi publik selama ini kerap terjebak pada pertanyaan klise:
“Kenapa Aceh selalu menyinggung Helsinki?” Padahal menurutnya, yang seharusnya dipertanyakan adalah apakah MoU itu sendiri pernah direalisasikan secara penuh oleh pemerintah pusat.
“Jika kita kembali membaca teks MoU tanpa bias politik, kita akan tahu bahwa banyak kewenangan mendasar yang sampai hari ini belum pernah benar-benar hadir di Aceh,” ujarnya di Banda Aceh, Sabtu (15/11/2025).
Abu Salam kemudian merinci sejumlah poin penting dalam Pasal 1.3 MoU Helsinki, pasal yang secara khusus mengatur kewenangan Aceh dalam bidang ekonomi, sumber daya alam, dan hubungan luar negeri.
Pasal 1.3.1, yang memberikan Aceh hak untuk mengakses pinjaman luar negeri serta menetapkan suku bunga sendiri, menurutnya tak pernah bergerak dari atas kertas.
“Dua puluh tahun berlalu, kewenangan ini tidak pernah diberikan. Sama sekali,” katanya.
Pada Pasal 1.3.2, Aceh seharusnya memiliki ruang melakukan perdagangan internasional dan menarik investasi asing tanpa terhambat oleh regulasi pusat.
Namun, hingga kini, kata Abu Salam, kewenangan itu masih terperangkap dalam mekanisme nasional yang serba tersentralisasi.
Kewenangan lain yang menurutnya juga mandek ialah Pasal 1.3.3 dan 1.3.4, yang mengatur penguasaan Aceh atas sumber daya alam hayati di laut teritorial serta pembagian 70 persen hasil minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya.
“Implementasinya masih jauh dari harapan, jauh dari semangat MoU,” ujarnya.
Tak hanya itu, Pasal 1.3.5 terkait pengelolaan seluruh pelabuhan laut dan udara juga dinilai belum menyentuh realisasi substantif.
“Hampir seluruhnya masih dikendalikan pusat, baik administratif maupun operasional. Ini fakta yang tak bisa disangkal,” jelas Abu Salam.
Dua pasal terakhir, 1.3.6 dan 1.3.7, yang menyangkut perdagangan bebas tanpa hambatan tarif serta akses langsung Aceh ke luar negeri melalui laut dan udara, bahkan disebutnya tak pernah berada dalam radar implementasi pemerintah pusat.
Abu Salam menyebut, rentang waktu 20 tahun bukanlah masa yang pendek. Jika komitmen itu benar-benar dijalankan, kata dia, Aceh seharusnya sudah menjadi entitas yang kuat secara ekonomi, berdaya secara politik, dan stabil dalam hubungan luar negeri.
“Tapi hingga hari ini, implementasinya bahkan belum mencapai setengah dari apa yang dijanjikan,” ujarnya dengan nada menahan kecewa.
Ia menegaskan, MoU Helsinki adalah “kontrak damai” antara Aceh dan negara, dan setiap kontrak mengandung kewajiban moral serta hukum untuk dipenuhi.
“Pertanyaannya kini bukan lagi kenapa Aceh menyinggung Helsinki, tetapi apakah negara sungguh-sungguh menjalankan kontrak damai ini?”
Dalam renungan yang lebih dalam, Abu Salam menambahkan bahwa membicarakan MoU bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan ikhtiar memastikan masa depan Aceh tetap berada dalam jalur yang disepakati bersama.
“MoU Helsinki adalah janji rekonsiliasi. Dan janji itu seharusnya tidak dibiarkan menjadi teks yang menguning di rak sejarah,” pungkasnya.


















