Aceh Barat | Tubinnews.com – Anggota DPRK Aceh Barat, Ahmad Yani, menegaskan pentingnya lahirnya Qanun Zakat Perusahaan bagi sektor tambang dan perkebunan sawit. Menurutnya, gagasan ini adalah langkah memperkuat ketahanan fiskal daerah melalui mekanisme syariat Islam yang sah secara hukum.
Ahmad Yani menekankan, UUPA (UU No. 11/2006) memberi landasan kuat bagi Aceh dalam pengelolaan zakat. Pasal 192 menyebut zakat sebagai PAD, dan Pasal 180 memberi kewenangan penuh kepada Aceh serta kabupaten/kota untuk memungut pungutan melalui qanun.
“Zakat bukan sekadar ibadah, tapi juga instrumen fiskal daerah. Kalau perusahaan menikmati hasil bumi Aceh Barat, mereka wajib tunduk pada aturan syariat Islam,” ujarnya.
Ia menambahkan, implementasi UUPA selama ini lebih dominan pada sanksi pelanggaran syariat, padahal ada ruang besar untuk memperkuat fiskal melalui syariat Islam. “Qanun zakat perusahaan ini mengisi ruang kosong itu,” jelasnya.
Menurutnya, perusahaan sering taat pada aturan yang menguntungkan, tetapi menghindari kewajiban yang berat. Karena itu, qanun zakat harus diposisikan sebagai amanat UUPA. Kedudukan UUPA sebagai lex specialis menjadikan qanun zakat perusahaan sah dan mengikat. Zakat juga bukan beban tambahan karena bisa diakui sebagai pengurang pajak, hal itu dipertegas dalam PP No. 60 Tahun 2010 dan UU No. 23 Tahun 2011, zakat yang disalurkan melalui Baitul Mal bisa mengurangi beban pajak perusahaan.
“Jadi perusahaan tidak “bayar dobel”: zakatnya bisa diperhitungkan untuk meringankan pajak. CSR tidak bisa disamakan dengan zakat, karena zakat wajib dan dikelola Baitul Mal,” tegas Ahmad Yani.
Potensi zakat dari sektor tambang dan sawit di Aceh Barat diperkirakan mencapai Rp20–30 miliar per tahun. Dana ini dapat digunakan untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
“Dengan adanya qanun zakat perusahaan, kita menegakkan syariat Islam sekaligus memperkuat PAD Aceh Barat. Inilah ikhtiar agar kekhususan Aceh benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat,” pungkasnya.