Simeulue | Tubinnews.com – Sejumlah oknum Warga Negara Asing (WNA) yang berada di wilayah Kabupaten Simeulue, Aceh, mendapat sorotan tajam dari masyarakat setempat. Pasalnya, mereka tidak menghormati adat istiadat Aceh terkait cara berpakaian yang telah diatur dalam Qanun Syariat Islam. Tindakan para oknum WNA ini dinilai sebagai bentuk kurangnya penghargaan terhadap budaya lokal yang dijunjung tinggi masyarakat Aceh, khususnya di Simeulue.
Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam melalui Qanun, memiliki ketentuan-ketentuan khusus, termasuk dalam hal berpakaian. Setiap orang yang berada di wilayah hukum Aceh — baik warga lokal maupun pendatang — diharapkan dapat menyesuaikan diri dan mematuhi aturan tersebut.
Namun, belakangan ini, beberapa warga Simeulue mengaku resah melihat perilaku sejumlah turis atau pekerja asing yang mengenakan pakaian tidak sopan dan jauh dari norma berpakaian yang berlaku di Aceh.
Mereka terlihat mengenakan pakaian minim, terbuka, dan tidak sesuai etika berpakaian yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
“Simeulue ini bagian dari Aceh. Di Aceh kita punya aturan tentang pakaian yang sopan dan sesuai syariat, tapi beberapa orang asing ini seperti tidak peduli,” ujar salah seorang tokoh masyarakat Simeulue yang enggan disebutkan namanya.
“Mereka berpakaian seperti di negara mereka sendiri, padahal mereka berada di tanah yang punya aturan adat dan agama yang kuat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, masyarakat Aceh sebenarnya sangat terbuka dan ramah terhadap siapa pun, termasuk pendatang dan wisatawan asing. Namun, keterbukaan tersebut tidak berarti mengabaikan nilai-nilai yang telah lama dijaga dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Beberapa warga bahkan meminta pemerintah daerah dan instansi terkait seperti Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) untuk turun tangan memberikan teguran secara persuasif kepada para oknum WNA yang tidak menaati ketentuan berpakaian di Aceh.
Harapannya, langkah ini dapat mencegah terjadinya konflik budaya serta menjaga keharmonisan antara masyarakat lokal dan para pendatang.
“Pemerintah harus segera mengedukasi dan menegakkan aturan. Tidak ada yang kebal hukum di Aceh, siapapun yang tinggal di sini harus menghormati adat dan qanun,” lanjutnya.
Kehadiran warga negara asing, baik dalam kapasitas sebagai wisatawan maupun pekerja, sejatinya dapat memberikan dampak positif bagi daerah, khususnya dalam sektor ekonomi dan pariwisata. Namun, aspek budaya dan norma sosial juga tidak boleh dikesampingkan. Diperlukan edukasi dan sosialisasi aktif dari pihak berwenang agar para WNA memahami serta menghormati aturan yang berlaku di wilayah Aceh, khususnya di Kabupaten Simeulue.
Pemerintah daerah diharapkan segera merespon keresahan masyarakat ini dengan tindakan preventif dan pendekatan kultural agar Simeulue tetap menjadi daerah yang harmonis antara adat, agama, dan keterbukaan terhadap dunia luar.