Banda Aceh | Tubinnews.com – Pemerintah Aceh menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan kepemilikan atas empat pulau yang kini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan SK Kemendagri Nomor 300.2.2-2138/2025. Komitmen ini disampaikan langsung oleh Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir.
Kepada awak media, Syakir menegaskan bahwa Pemerintah Aceh telah dan terus menempuh berbagai strategi secara administratif dan konsultatif untuk merebut kembali Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang agar kembali ke pangkuan Aceh.
“Kita komitmen. Semua strategi kita tempuh, tapi kita tidak masuk melalui jalur PTUN. Kita fokus pada pendekatan administratif dan konsultatif,” tegas Syakir.
Syakir juga menaruh harapan besar kepada Presiden RI, Prabowo Subianto untuk mengambil alih penyelesaian masalah ini secara bijak dan tuntas. Menurutnya, penyelesaian sengketa wilayah ini sangat penting demi menjaga kehormatan dan integritas wilayah Aceh.
“Kita berharap kepada Pak Presiden Prabowo yang telah mengambil alih persoalan ini agar keempat pulau tersebut bisa kembali menjadi bagian dari Aceh,” tambahnya.
Dalam upaya memperkuat klaim wilayah, Syakir mengungkapkan bahwa Pemerintah Aceh telah mengantongi dokumen kesepakatan resmi antara Gubernur Aceh saat itu, Ibnu Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, yang disaksikan langsung oleh Mendagri kala itu, Rudini, pada tahun 1992. Kesepakatan itu menyatakan bahwa keempat pulau yang disengketakan adalah bagian dari wilayah Provinsi Aceh.
“Berkas-berkas kesepakatan tahun 1992 ini akan kami paparkan kembali. Ini merupakan bukti kuat bahwa sejak dulu wilayah itu adalah milik Aceh,” terang Syakir.
Selain kesepakatan lama, Syakir juga menegaskan bahwa landasan hukum yang memperkuat posisi Aceh juga termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah. Dalam Pasal 3 Ayat (2) Huruf F disebutkan bahwa salah satu dasar penetapan batas daerah adalah dokumen kesepakatan antar wilayah yang berbatasan.
“Kalau kita pelajari secara hukum, kesepakatan antara dua pihak itu mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak yang menandatanganinya. Ini bukan kata orang, tapi tertuang langsung dalam aturan yang berlaku,” tegasnya.
Di tengah polemik yang berkembang, Pemerintah Aceh tetap menunjukkan konsistensinya dalam memperjuangkan hak wilayah. Syakir menegaskan bahwa semua langkah yang diambil dilakukan dengan pendekatan damai dan konstitusional.
“Kami konsen, kami tetap fokus untuk memperjuangkan hak Aceh secara sah, beretika, dan melalui jalur-jalur resmi yang diatur dalam hukum negara,” pungkasnya.