*) Oleh: Dr. Erizar, M.Ed, Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila sebagai momentum refleksi terhadap nilai-nilai dasar negara. Namun, di tengah dinamika politik kontemporer yang semakin kompleks, pertanyaan kritis yang muncul adalah: sejauh mana Pancasila masih relevan dan efektif sebagai panduan dalam mengatasi tantangan kebangsaan di abad ke-21? Pancasila telah mengalami proses sakralisasi yang berlebihan, terutama selama era Orde Baru, di mana ideologi negara ini dijadikan alat legitimasi kekuasaan politik (Latif, 2011). Fenomena ini menciptakan paradoks yang mengkhawatirkan, yakni di satu sisi Pancasila diagungkan sebagai nilai-nilai luhur, namun di sisi lain sering dimanipulasi untuk kepentingan politik praktis.
Bourchier (2015) mengimplementasikan bahwa proses “pancasilaisasi” telah mengaburkan esensi filosofis Pancasila itu sendiri, mengubahnya dari panduan etis menjadi instrumen kontrol sosial-politik. Konsekuensinya, instrumentalisasi Pancasila terlihat jelas dalam berbagai kebijakan yang mengatasnamakan nilai-nilai Pancasila, namun dalam praktiknya justru bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan.
Tantangan yang tidak kalah serius adalah kemampuan Pancasila mengelola keragaman dalam masyarakat Indonesia yang semakin terpolarisasi. Aspinall (2016) mencatat bahwa pasca-Reformasi 1998, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam politisasi identitas agama dan etnisitas, yang kemudian menghadirkan dilema bagi implementasi sila “Bhinneka Tunggal Ika”. Kasus-kasus seperti penistaan agama, konflik antar-umat beragama, dan munculnya gerakan-gerakan intoleransi menunjukkan bahwa Pancasila belum sepenuhnya berhasil menjadi perekat sosial yang efektif.
Crouch (2010) menganalisis bahwa lemahnya institusi-institusi demokratis dan sistem hukum yang belum konsisten dalam menegakkan prinsip-prinsip toleransi, menjadi faktor utama yang menghambat realisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menghadapi ujian paling berat dalam konteks ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa rasio Gini Indonesia masih berada di level 0,38, yang mengindikasikan ketimpangan yang relatif tinggi.
Warburton (2016) menganalisis bahwa model pembangunan ekonomi Indonesia pasca-Reformasi masih didominasi oleh elit ekonomi dan politik, yang bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang diamanatkan Pancasila.
Persoalan menjadi semakin kompleks ketika fenomena korupsi yang masih endemik di berbagai level pemerintahan turut menunjukkan lemahnya internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik penyelenggaraan negara. Transparency International (2023) menempatkan Indonesia pada posisi 64 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang mengindikasikan masih tingginya level korupsi dan menunjukkan adanya kesenjangan fundamental antara retorika Pancasila dengan realitas tata kelola pemerintahan. Sementara itu, tantangan kontemporer lainnya muncul dari era digital dan globalisasi yang menghadirkan dinamika baru dalam kehidupan berbangsa. Lim (2017) mengobservasi bahwa media sosial dan platform digital telah menciptakan ruang-ruang echo chamber yang memperkuat polarisasi politik dan sosial, di mana nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan dalam mengelola diskursus publik yang semakin fragmentatif dan seringkali dipenuhi dengan hoaks serta ujaran kebencian.
Selain itu, globalisasi ekonomi juga menghadirkan dilema bagi implementasi nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Robison & Hadiz (2017) mengargumentasikan bahwa integrasi Indonesia ke dalam ekonomi global telah menciptakan ketergantungan struktural yang berpotensi mengikis semangat gotong royong dan kemandirian ekonomi yang menjadi bagian dari nilai-nilai Pancasila.
Menghadapi berbagai tantangan tersebut, revitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditunda lagi. Namun demikian, revitalisasi ini tidak boleh sekadar bersifat ritualistik, melainkan harus substantif dan kontekstual. Heryanto (2014) menekankan pentingnya reinterpretasi Pancasila yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi filosofisnya.
Revitalisasi ini harus dimulai dari sistem pendidikan yang mampu mengajarkan Pancasila bukan sebagai dogma, melainkan sebagai kerangka berpikir kritis dalam memecahkan persoalan-persoalan kebangsaan. Selain itu, diperlukan reformasi institusi-institusi negara agar lebih responsif terhadap tuntutan keadilan sosial dan perlindungan hak-hak minoritas. Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dapat menghadapi ujian eksistensial di era kontemporer dengan lebih baik.
Pada akhirnya, kesenjangan antara idealisme filosofis dengan realitas praktik politik dan sosial menunjukkan perlunya evaluasi kritis terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila. Tantangan pluralisme, ketimpangan sosial, korupsi, dan dampak digitalisasi memerlukan respons yang lebih adaptif dan kontekstual dari para pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, peringatan Hari Lahir Pancasila seharusnya menjadi momentum untuk melakukan refleksi kritis, bukan sekadar perayaan seremonial. Diperlukan komitmen bersama untuk mewujudkan Pancasila sebagai living ideology yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan konkret bangsa Indonesia.
Tanpa upaya revitalisasi yang substansial, Pancasila berrisiko menjadi sekadar simbol tanpa makna yang relevan bagi kehidupan rakyat Indonesia, dan hal ini tentunya akan menjadi kerugian besar bagi masa depan bangsa.