*) Oleh: Prof. Dr. Ir. Muhammad Irham, S.Si., M.Si
Kabupaten Aceh Barat, sebuah daerah otonomi kaya akan sejarah perjuangan dan sumber daya alam, kini berdiri di persimpangan jalan. Dengan angka kemiskinan yang mencapai 78.780 jiwa atau 38,54% dari total populasi, daerah ini menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Data yang tersedia hingga Agustus 2024 menunjukkan bahwa masalah struktural dan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi titik lemah utama yang perlu segera ditangani secara serius dan berkelanjutan.
Salah satu indikator paling menyedihkan adalah tingkat kelulusan pendidikan. Hanya 78% dari anak usia sekolah yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA, dengan rata-rata lama sekolah hanya 8,42 tahun. Angka ini jauh di bawah target wajib belajar 12 tahun. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan bahwa ribuan anak muda di Kabupaten Aceh Barat terjebak dalam siklus minimnya akses pendidikan, terbatasnya mutu pembelajaran, dan kurangnya motivasi untuk menuntut ilmu.
Pendidikan yang rendah bukan hanya menurunkan daya saing tenaga kerja, tetapi juga mempersempit wawasan masyarakat terhadap isu-isu penting seperti kesehatan, kewirausahaan, dan partisipasi sosial. Ketika generasi muda tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan, maka mereka akan sulit beradaptasi di era digital dan ekonomi global.
Data statistik ketenagakerjaan menunjukkan bahwa jumlah pengangguran penduduk Kabupaten Aceh Barat mencapai 12,5 ribu jiwa, atau 13,62% dari 91.803 jiwa usia kerja. Ini angka yang sangat mengkhawatirkan. Padahal, Kabupaten Aceh Barat sedang mengalami laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,3%, yang artinya penduduk usia produktif akan terus bertambah. Sayangnya, alih-alih menjadi bonus demografi, angka ini justru menjadi beban sosial jika tidak dikelola dengan baik dan benar.
Tanpa keterampilan yang relevan dan akses terhadap lapangan kerja yang memadai, pemuda-pemudi di Kabupaten Aceh Barat hanya akan memperpanjang antrean pengangguran. Oleh karena itu, jika keadaan ini dibiarkan, maka akan dapat memicu ketegangan sosial, peningkatan kriminalitas, dan stagnasi ekonomi jangka panjang.
Di sisi lain, sektor kesehatan juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Meskipun terdapat 52 fasilitas Kesehatan (data Oktober 2024), rasio tenaga kesehatan masih sangat timpang. Hanya ada 52 dokter yang harus melayani empat puluh ribu jiwa (1:40.000 jiwa), 292 bidan (1:6.000), dan 165 perawat (1:13.000). Sementara standar ideal menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) adalah 1 dokter untuk setiap 1.000 orang. Artinya, Aceh Barat kekurangan ribuan tenaga medis profesional.
Oleh karena itu, Universitas Teuku Umar dalam hal ini harus segera bergerak cepat mengatasi masalah kekurangan tenaga kesehatan terutama dokter dan spesialis. Pembukaan Fakultas Kedokteran yang sedang diperjuangkan saat ini harus segera diwujudkan dan didukung bersama. Ini adalah langkah strategis untuk meningkatkan jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya di wilayah Aceh Barat. Dengan adanya fakultas kedokteran, diharapkan dapat membantu meningkatkan rasio tenaga kesehatan dan memenuhi standar ideal yang ditetapkan oleh WHO. Tanpa tenaga medis professional, maka sulit bagi bagi masyarakat Kabupaten Aceh Barat untuk mewujudkan peningkatan kualitas hidup, produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan sosial. Masyarakat yang sehat juga dapat lebih berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan menghadapi tantangan dengan lebih baik.
Karena kita tahu bahwa keterbatasan tenaga Kesehatan akan berdampak pada layanan kesehatan dasar, termasuk ibu dan anak, gizi balita, dan penanganan penyakit menular. Dalam jangka panjang, kesehatan masyarakat yang buruk akan memperburuk kualitas SDM dan memperbesar beban anggaran daerah.
Di sektor sosial dan kesejahteraan Masyarakat, keadaanya sangat mengkhawatirkan. Hal ini ditunjukan oleh besarnya jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM), yaitu 95.378 jiwa atau 46,65% dari total penduduk. Artinya, hampir separuh warga Aceh Barat bergantung pada bantuan pemerintah untuk kebutuhan dasar. Total anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 380,344 miliar, setara dengan 30% dari APBD atau 230,48% dari PAD (Pendapatan Asli Daerah). Ini bukan sekadar angka besar, tapi juga alarm keras: daerah ini belum mandiri secara ekonomi.
Setiap keluarga hanya menerima rata-rata Rp 320 ribu per bulan, yang jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Ketika bantuan sosial menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, maka produktivitas masyarakat justru melemah. Bantuan yang seharusnya bersifat sementara berubah menjadi ketergantungan jangka panjang.
Daerah Aceh Barat sejatinya tidak miskin sumber daya. Potensi sektor pertanian, kelautan, hingga energi sangat besar. Namun, tanpa SDM unggul untuk mengelola dan mengembangkan potensi ini, kekayaan itu hanya menjadi “harta karun” yang terkubur. Ini adalah paradoks tragis: kekayaan alam yang tidak mampu menciptakan kesejahteraan karena manusianya tidak diberdayakan.
Dari semua data di atas, benang merahnya adalah SDM. Pendidikan rendah, pengangguran tinggi, dan ketergantungan sosial semuanya berpangkal pada lemahnya kualitas SDM. Oleh karena itu, investasi pada manusia, bukan hanya fisik infrastruktur, harus menjadi prioritas utama pembangunan Aceh Barat ke depan.
SDM yang unggul akan mendorong kewirausahaan lokal, meningkatkan produktivitas, memperkuat sektor informal, dan pada akhirnya memperluas basis ekonomi daerah. SDM juga akan memperkuat kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Untuk keluar dari kondisi ini, menurut saya kita membutuhkan 5 subjek intervensi struktural dan strategis, antara lain:
Pertama revitalisasi pendidikan menengah dan vokasi. Pendidikan menengah dan vokasi perlu direvitalisasi untuk menghasilkan generasi muda yang siap kerja dan adaptif terhadap perubahan zaman. Fokus pada keterampilan praktis, kewirausahaan, dan penguasaan teknologi harus menjadi inti kurikulum, bukan hanya teori. Kolaborasi dengan dunia usaha dan teknologi digital perlu diperkuat agar lulusan lebih kompetitif. Pendidikan vokasi harus dipandang sebagai jalur utama untuk membangun SDM unggul dan mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis keterampilan.
Selanjutnya adalah program pelatihan kerja berbasis kebutuhan pasar local. Program ini sangat penting untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan produktivitas daerah. Dengan menyesuaikan kurikulum pelatihan dengan kebutuhan industri lokal, lulusan akan lebih siap kerja. Kolaborasi antara lembaga pelatihan dan pelaku usaha mempercepat penyerapan tenaga kerja, sekaligus menjawab kekurangan keterampilan. Pendekatan ini juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan, dengan sektor swasta dan pemerintah bekerja sama aktif.
Ke tiga adalah penguatan layanan kesehatan primer. Penguatan layanan kesehatan primer membutuhkan peningkatan jumlah dan kualitas tenaga medis, terutama di daerah terpencil. Pelatihan berkelanjutan serta penggunaan teknologi seperti rekam medis elektronik dan telemedicine sangat penting untuk efisiensi dan perluasan jangkauan layanan. Digitalisasi memungkinkan deteksi dini dan pemantauan kesehatan yang lebih baik. Investasi di sektor ini akan memperkuat sistem kesehatan nasional.
Ke empat melakukan reformasi bantuan sosial. Reformasi program ini perlu diarahkan dari pola konsumtif menjadi produktif agar dampaknya lebih berkelanjutan. Bantuan langsung tunai memang penting dalam kondisi darurat, tetapi untuk jangka panjang, masyarakat membutuhkan dukungan yang memberdayakan. Program seperti bantuan modal usaha mikro dan padat karya terbukti mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi ketergantungan. Pendekatan ini tidak hanya menumbuhkan ekonomi keluarga, tetapi juga mendorong aktivitas ekonomi lokal. Pemerintah perlu memperkuat pendampingan dan akses pasar bagi penerima agar program benar-benar berdampak. Bantuan yang produktif adalah investasi sosial yang memberi peluang, bukan sekadar memenuhi kebutuhan sesaat.
Terakhir adalah kemitraan publik-swasta untuk pengembangan sektor ekonomi potensial. Kemitraan publik-swasta sangat efektif dalam mengakselerasi sektor ekonomi potensial seperti pertanian, perikanan, dan energi terbarukan. Dengan sinergi ini, sektor-sektor ini dapat mengakses modal, teknologi, dan pasar yang lebih luas, meningkatkan produktivitas, dan kesejahteraan masyarakat. Kemitraan yang tepat akan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan secara inklusif.
Kabupaten Aceh Barat sedang berada di ujung tanduk. Kita bisa memilih untuk terus menggelontorkan dana bantuan yang menenangkan untuk sementara, atau mulai membangun pondasi perubahan lewat investasi jangka panjang pada manusia. Kita bisa menyerah pada kenyataan, atau berani menantangnya.
Jika SDM menjadi titik tolak pembangunan, maka Kabupaten Aceh Barat akan melangkah dari ketertinggalan menuju kebangkitan. Namun jika tidak, kita hanya akan mengulang siklus kemiskinan, ketergantungan, dan stagnasi. Masa depan Kabupaten Aceh Barat ada di tangan kita. Apakah kita siap membangunnya, mari kita dimulai dari manusianya?