Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh dengan tegas menolak rencana tambang emas oleh PT Linge Mineral Resource (LMR) di Aceh Tengah.
Penolakan ini tercantum dalam surat tanggapan terhadap Rencana Studi AMDAL Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Bijih Emas DMP milik PT LMR dan telah mengirimkan dokumen tanggapan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta kantor pusat PT. LMR di Jakarta.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menegaskan penolakan ini bertujuan sebagai upaya perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perekonomian, dan sosial budaya di dataran tinggi Gayo.
“Demi melindungi lingkungan hidup, HAM, perekonomian dan sosial budaya menjadi alasan utama bagi WALHI Aceh untuk menolak kehadiran tambang emas tersebut dan dokumennya sudah kami kirimkan ke KLHK dan PT LMR,” ujarnya pada Jumat 20 Oktober 2023.
Tambang emas yang direncanakan di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, akan menyebabkan dampak kerusakan serius pada ekosistem terutama pada kualitas kopi yang merupakan komoditas andalan dan sumber pendapatan utama bagi penduduk di dataran tinggi Gayo.
“Kopi memberikan manfaat yang dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya, sementara tambang hanya memberikan manfaat singkat untuk satu atau dua generasi, setelah itu mengakibatkan kerusakan pada ekosistem yang memerlukan waktu lama untuk pulih.” jelas Ahmad.
Analisis WALHI Aceh menunjukkan bahwa kehadiran PT LMR dapat berdampak tidak hanya di Aceh Tengah, tetapi juga hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mencakup wilayah Aceh Timur, Aceh Utara, dan Bener Meriah. Ini sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh Tengah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2016-2036.
Tambang emas PT LMR juga dianggap berpotensi merusak ekosistem dan kawasan rawan bencana gempa bumi, banjir, longsor, dan kebakaran hutan.
Selain itu, tambang tersebut dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang menentukan penggunaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan kawasan strategis.
“Tambang emas itu justru berpotensi merusak habitat satwa endemik bahkan menyebabkan kepunahan, dari aspek ekonomi juga tidak begitu bermanfaat kepada masyarakat jika dibanding dengan perkebunan kopi” tambahnya.
Keberadaan tambang emas ini juga berdampak pada objek wisata seperti Danau Lut Tawar, yang merupakan bagian dari DAS Peusangan dan penting bagi masyarakat di wilayah sekitarnya.
WALHI Aceh menekankan tambang emas akan berdampak negatif pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Perkebunan kopi merupakan alternatif yang lebih berkelanjutan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Selain itu, WALHI Aceh khawatir kehadiran tambang hanya akan menguntungkan pemilik modal dan tidak merata bagi masyarakat setempat. Tidak menjadi kemungkinan akan lebih banyak pekerja tambang yang didatangkan dari luar daerah, meninggalkan warga setempat dengan pekerjaan kasar dan potensi konflik sosial.
WALHI Aceh menyatakan pentingnya melestarikan perkebunan kopi dan budaya dataran tinggi Gayo sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan daripada eksploitasi sumber daya alam yang berisiko dan mengingatkan bahwa warga di sekitar tambang sering tetap miskin.
“Belum ada dalam sejarah warga yang tinggal di lingkar tambang sejahtera, faktanya tambang Migas PT Arun misalnya, jelas warga di sekitar tetap miskin hingga sekarang. Belum lagi kita lihat tambang emas di Papua, warga tetap saja miskin,” tegasnya.
Ahmad Shalihin juga menegaskan potensi emas yang ada harus dicadangkan untuk generasi mendatang yang mungkin mampu menambang dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
(Rindi/red)