Satwa Lindung Aceh Jadi Sasaran Perdagangan Gelap Internasional

|

DITAYANG:

Banda Aceh, Tubinnews – Satwa liar dilindungi di Aceh saat ini menjadi target utama sindikat kejahatan lingkungan untuk diperjualbelikan, dari pasar lokal hingga pasar internasional.

Fakta ini terungkap dalam Diskusi Publik “Menilik Barang Bukti Sitaan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TPLHK) Dibawa Ke Mana” yang diadakan oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh di Banda Aceh pada Kamis (18/1/2024).

Aktivis lingkungan, Tezar Pahlevi, mengungkapkan temuan kasus perdagangan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) asal Aceh yang dikirim ke Thailand dan berakhir di Timur Tengah.

Perputaran uang hasil perdagangan satwa liar menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata api ilegal.

“Hal ini tidak terlepas karena Aceh masih memiliki hutan yang masih bagus, dibanding daerah lain,” ujar Tezar.

“Begitu juga dengan kekayaan satwa yang kita punya dan tergolong ke dalam satwa endemik yakni gajah, harimau, badak dan orangutan masih hidup berdampingan di satu kawasan,” tambahnya.

BACA JUGA  Kesedihan Orang Tua Rindu Sinaga Melihat Ekshumasi Tak Terbendung Derma "Kami Iklas Anak Kami Di Bongkar"

Sementara itu, Polda Aceh mencatat 27 kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi yang ditangani dengan jumlah tersangka mencapai 36 orang selama periode 2020-2023.

Motivasi perburuan dan perdagangan satwa ini melibatkan permintaan pasar untuk dikonsumsi, kebutuhan obat-obatan, dan peliharaan, karena satwa-satwa tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi.

“Penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan satwa lindung penting dilakukan karena berdampak pada kerusakan ekosistem dan kepunahan terhadap satwa lindung,” ungkap Panit 4 Ditreskrimsus Polda Aceh, Iptu Wahyudi.

Wahyudi menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap kejahatan ini karena berdampak pada kerusakan ekosistem dan kepunahan satwa liar. Upaya penanggulangan telah dilakukan oleh Polda Aceh dan Polres jajaran, mencakup tindakan preemtif, preventif, dan represif.

BACA JUGA  Begal Merajalela! Polda Sumut Kembali Kecolongan, Buruh Diacungkan Golok Panjang "Takutlah Bang"

Di sisi lain, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh juga berkomitmen untuk mengawal kasus kejahatan lingkungan. Hal tersebut mengacu pada tuntutan tinggi dalam beberapa kasus, seperti pembunuhan gajah di Aceh Jaya pada 2022, sebagai bentuk kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan.

“Tuntutan dua kasus ini tinggi, karena dampaknya luar biasa, 4 tahun 6 bulan dari maksimal 5 tahun dan tuntutan terkadang juga menimbulkan unsur disparitas, yakni perbedaan besaran hukuman yang dijatuhkan pengadilan dalam perkara yang memiliki karakteristik yang sama,” kata Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejati Aceh, Ibnaini.

Pengelolaan barang bukti sitaan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TPLHK) menjadi fokus penting. Barang bukti tersebut, berupa jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, akan dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga konservasi. Namun, ada pengecualian jika barang bukti tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan dan lebih baik dimusnahkan.

BACA JUGA  Siswa SMP Negeri 1 Deli Serdang Meninggal Dunia, Orang Tua "Kami Diarahkan Menandatangani Surat Dari Polsek

Rahmat, Polhut Ahli Muda Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, menjelaskan proses penanganan barang bukti, yang melibatkan identifikasi, pengamanan, pengangkutan, penyimpanan, dan pemusnahan.

“Penanganan barang bukti adalah proses atau cara melakukan kegiatan yang meliputi identifikasi, pengamanan (pengawalan, penjagaan, pengujian laboratorium, pembungkusan, dan penyegelan), pengangkutan, penyimpanan, perawatan atau pemeliharaan, penitipan, pelelangan, peruntukan, pemusnahan dan/atau pelepasliaran barang bukti,” jelasnya.

Dasar hukum pengelolaan barang bukti adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Menteri LHK Nomor P.26/Menlhk/Setjen/kum.1/2017 Tentang Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 22/2023 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Direktorat Denderal Konservasi Sumber Daya Alam.

spot_img
spot_img
spot_img