Banda Aceh : Banda Aceh kota yang dijuluki sebagai Serambi Mekah, menjadi sorotan bukan hanya karena kekuatannya dalam menjaga tradisi Islam, namun juga karena meningkatnya kasus eksploitasi anak.
Abdan Syakura Kabid Humas Koalisi Pemuda Masyarakat Aceh ( KPMA) menerangkan. Hingga saat ini berbagai kasus eksploitasi anak ini memperlihatkan ironi mendalam yang mengganggu citra religius kota tersebut. Mereka juga berkeliaran di warung – warung kopi menawarkan beberapa jumlah makanan yang ingin mereka jual.
Hal ini sungguh sangat miris terjadi karena anak masih di bawah umur dipaksa untuk bekerja dan dituntut tanggung jawab. Bahkan ada juga anak – anak itu berjualan di pinggiran jalan serta di atas jembatan pinggiran jalan yang sungguh sangat memilukan ketika kita melihatnya. Sungguh sangat tidak layak.
Karena seumuran mereka masih fokus dalam proses belajar dan sekolah sehingga kedepannya dapat mengukir prestasi dan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang tua dan masyarakat sekitar.
Kejadian ini bukanlah satu-satunya kasus yang mengemuka di Banda Aceh. Banyak anak-anak lainnya, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, terpaksa bekerja di jalanan.
Selain mengemis, mereka juga sering ikut berjualan atau bekerja di sektor informal tanpa perlindungan yang memadai. Berdasarkan laporan dari dinas sosial setempat, jumlah anak yang terjebak dalam eksploitasi di Banda Aceh telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun Aceh memiliki undang-undang yang tegas tentang perlindungan anak, pelanggaran tetap marak terjadi.
Lanjutnya, Pada akhir tahun 2023, YBHA (Yayasan Bantuan Hukum Anak) Peutuah Mandiri sendiri pernah meminta pihak berwenang dan masyarakat untuk menangani dan memberikan perhatian khusus terhadap kasus eksploitasi anak, namun hal ini belum memberikan perubahan yang signifikan.
Dimana saat ini masih ditemui beberapa pekerja dan pengemis anak di warung-warung kopi dan persimpangan jalan. Eksploitasi anak tidak hanya bertentangan dengan hukum negara, tetapi juga dengan nilai-nilai agama yang dipegang teguh di Aceh.
Pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan lebih proaktif dalam menangani masalah ini. Beberapa lembaga sosial di Aceh telah mencoba menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi, tetapi tantangan dalam memutus siklus kemiskinan dan ketergantungan ekonomi keluarga terhadap anak-anak mereka menjadi hambatan besar.
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi fenomena ini mencakup peningkatan penegakan hukum, kampanye kesadaran publik tentang hak-hak anak, serta pemberdayaan ekonomi bagi keluarga kurang mampu.
Harapannya, melalui kerja sama pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat, Banda Aceh bisa membebaskan generasi mudanya dari eksploitasi dan memberi mereka kesempatan untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan bermartabat.
Kasus eksploitasi anak di Banda Aceh tentunya melanggar Aturan mengenai perlindungan anak yang didasarkan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU 23/2002 yang mengatur bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan, salah satunya, dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
Anak-anak yang dipaksa bekerja, baik di jalanan maupun dalam aktivitas lainnya menimbulkan kekhawatiran tidak hanya dari segi hukum dan sosial, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam pada anak-anak tersebut.
Mereka rentan mengalami trauma yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional, mental, dan sosial. Dampak psikologis pada pekerja anak seringkali sangat parah dan berlangsung dalam jangka panjang.
Anak-anak yang tereksploitasi cenderung mengalami depresi, kecemasan, serta rendahnya harga diri. Kehilangan masa kecil yang seharusnya penuh dengan belajar dan bermain membuat mereka merasa terasing dari lingkungan sosialnya.
Selain itu, sering kali anak-anak ini menjadi korban kekerasan fisik dan emosional, baik dari keluarga sendiri maupun dari orang lain selama mereka bekerja.
Pasal 76I ayat (1) yaitu : “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.”
Dampak psikologis pekerja terhadap anak menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan berisiko tinggi cenderung mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal di kemudian hari.
Mereka juga lebih rentan terhadap gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, dan masalah perilaku. Tekanan untuk bekerja di usia yang terlalu muda mengikis kemampuan mereka untuk menikmati masa kecil dan beradaptasi dengan baik dalam masyarakat.
Hal ini tentunya akan berdampak signifikan pada usia dewasa jika tidak dicegah sedini mungkin. Di Banda Aceh, fenomena ini semakin kontras karena kota ini sangat menekankan nilai-nilai religius yang seharusnya melindungi anak-anak dari eksploitasi.
Namun, kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketidakpedulian masih mengancam kehidupan anak-anak di kota ini.
Jika masalah eksploitasi anak tidak segera ditangani, tidak hanya masa depan mereka yang akan terancam, tetapi juga masa depan kota ini secara keseluruhan.
Semoga hal ini dapat diatasi secepat mungkin agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan yang bisa mempengaruhi perkembangan mental anak saat sedang berkembang menuju remaja hingga dewasa nanti.