Simeulue – Polemik pembukaan lahan oleh PT Raja Marga (PT RM) tampaknya masih belum berakhir, pasalnya, meski saat ini pemerintah Kabupaten Simeulue sedang berupaya “memuluskan” pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) terhadap PT Raja Marga, namun, upaya itu pun masih menuai sorotan, karena dianggap tak memberikan keuntung masyarakat dan daerah. Minggu (21/1/2025).
Seperti yang disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue, M. Johan Jalla. Dengan tegas dirinya menolak penerbitan HGU kepada PT. Raja Marga untuk mengelola ribuan hektare lahan perkebunan di kabupaten kepulauan itu.
Sekretaris Komisi II DPRK Simeulue itu berpendapat, bahwa penerbitan HGU tersebut, tidak menguntungkan masyarakat dan daerah, malah, kata Johan Jalla sebaliknya dapat merugikan rakyat dan daerah di masa yang akan datang. Menurutnya, jika Penerbitan HGU dipaksakan, dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan.
“Kita tegas menolak penerbitan HGU tersebut, karena jelas merugikan masyarakat dan Daerah,” tegas Johan Jalla didampingi Jamiudin, S.Pd.i, Anggota Komisi IV DPRK Simeulue, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Johan Jalla menjelaskan, penolakan pemberian HGU tersebut tidak serta merta menolak investasi, ia menyadari pentingnya investor masuk ke Simeulue demi kemajuan daerah. Namun, dirinya menegaskan, investasi dilakukan sesuai prosedur dan mempertimbangkan dampak ekonomi terhadap masyarakat.
“Kami mendukung investasi di Simeulue, tetapi tidak dengan cara seperti yang dilakukan PT. Raja Marga saat ini,” ujarnya.
Selain itu, Johan Jalla juga meminta kepada Pemerintah Daerah agar mengkaji lebih dalam sebelum menerbitkan rekomendasi izin HGU tersebut. Baginya, skema pembagian lahan dalam pola plasma 20 persen yang tertuang dalam aturan HGU, dinilai tidak sebanding dengan penguasaan lahan oleh perusahaan dalam jangka waktu panjang.
“Sebelum mengeluarkan rekomendasi HGU untuk PT Raja Marga, Pemerintah daerah perlu mengkaji apa manfaat dan mudaratnya bagi masyarakat dan daerah, apa yang bisa didapat masyarakat dari plasma 20 persen? Sisanya tetap dikelola PT. Raja Marga selama puluhan tahun ke depan,” ujarnya lagi.
Solusi Untungkan Masyarakat dan Daerah Simeulue
Dalam hal PT RM yang akan mengelola ribuan hektare lahan untuk perkebunan kelapa sawit tersebut, Johan Jalla memberikan solusi alternatif yang lebih berpihak pada pemilik lahan dan kesejahteraan daerah Simeulue, yakni, dengan skema kemitraan antara PT RM dengan masyarakat dan pemerintah daerah.
Skema tersebut dijelaskannya, misal, masyarakat punya lahan satu hektare dihargai Rp 40 juta dengan sistem perusahaan berhutang kepada pemilik lahan. Selanjutnya, kata Johan Jalla, setelah dijadikan kebun kelapa sawit dan berhasil, pihak perusahaan akan membayar hutang tersebut dengan cara bagi hasil.
“Misalnya, dalam satu hektare menghasilkan 3-4 ton perbulan dengan nilai penjualan Rp6 juta setelah potong ongkos dan lain-lain. Hasil itu, diserahkan kepada pemilik lahan 40 persen atau setara Rp2,4 juta sebagai cicilan hutang terhadap pemilik lahan, jadi kalau satu tahun totalnya Rp 28,8 juta. Artinya dua tahun lunas, kemudian setelah itu, kebun tersebut diserahkan kepada pemiliknya dan dikelola sendiri,” jelas Johan Jalla yang juga diamini Jamiudin.
Keuntungan perusahaan, lanjut Johan Jalla, ada 60 persen atau setara Rp3,6 juta untuk perusahaan, jika diakumulasikan selama dua tahun, maka kata dia, pihak perusahaan mendapatkan keuntungan Rp 86,4 juta dalam satu haktare.
“Bayangkan kalau 1.500 atau 2.000 hektare berapa milyar selama dua tahun. Tapi mereka (PT RM -red) untungnya sedikit itu, sekarang ini mau mereka untungnya Rp 1 miliar satu hari,” imbuhnya
Masih kata Johan Jalla, setelah lunas dibayar kepada pemilik lahan tersebut, maka perkebunan itu diserahkan kepada kembali dan menjadi hak milik masyarakat 100 persen. Keuntungan untuk daerah, kata dia, berasal dari pajak-pajak dalam setiap transaksi penjualan hasil tersebut.
“Karena yang membangun perkebunan itu adalah pihak perusahaan, maka hasil panen dijual kepada PT Raja Marga dengan ketentuan harga pembelian (Sawit) sama dengan di daratan, karena kalau ada perbedaan harga walapun cuma Rp 200, maka kita jual ke luar,” pungkasnya.
Ia juga menekankan, pentingnya melibatkan para ahli dan akademisi dalam merumuskan skema kemitraan tersebut, agar tercipta model yang efektif, efisien, dan berkelanjutan. Dirinya berharap agar pemerintah daerah dapat serius mempertimbangkan usulan ini dan membuka dialog dengan semua pihak yang terkait.
Selain itu juga, Johan Jalla meminta Pemerintah Kabupaten Simeulue untuk lebih berhati-hati dalam memberikan izin HGU. Ia juga mengingatkan Pj. Bupati agar tidak mengeluarkan rekomendasi terkait izin HGU karena masa jabatannya yang segera berakhir.
“Kepada Pak Pj. Bupati, karena masa tugas beliau tinggal menghitung bulan, dan pembahasan HGU ini masih panjang prosesnya, lebih baik jangan mengeluarkan rekomendasi. Biarkan bupati terpilih nanti yang memutuskan, apakah HGU ini boleh atau tidak,” tegasnya.
Terakhir dirinya juga mengingatkan bahwa perekonomian masyarakat Simeulue sangat bergantung pada sektor perkebunan.
“Jika ribuan hektare lahan ini diberikan izin untuk PT. Raja Marga, bagaimana dengan masa depan anak cucu kita?,” pungkasnya.