Aceh Timur | Tubinnews.com – Puluhan warga Desa Bandar Baro, Kecamatan Indra Makmu, Kabupaten Aceh Timur, melakukan aksi protes dengan mengambil alih sumur minyak JR-50 milik PT Medco E&P Malaka yang berada di wilayah mereka, Sabtu (25/10/2025).
Aksi tersebut diduga dipicu oleh kekecewaan warga terhadap pihak perusahaan yang dianggap telah membohongi masyarakat terkait penyaluran dana tali asih dari kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS). Warga mengaku kecewa setelah mengetahui bahwa perusahaan telah menyalurkan uang tali asih sebesar Rp1 juta per kepala keluarga (KK) kepada warga di desa tetangga pada Kamis (23/10/2025).
Padahal, sebelumnya sejumlah tokoh Desa Bandar Baro sempat mengkonfirmasi kepada pihak humas PT Medco E&P Malaka mengenai kebijakan tersebut. Namun, humas perusahaan dikatakan sempat membantah adanya penyaluran dana tali asih itu.

Pj Keuchik Desa Bandar Baro, Rasyidin, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap sikap perusahaan yang dianggap tidak adil dalam memperlakukan masyarakat di sekitar wilayah operasionalnya.
“Ketimpangan sosial terlihat jelas. Di satu sisi ada bagi-bagi uang kepada warga desa tetangga, di sisi lain warga Desa Bandar Baro sebagai desa ring satu justru dianaktirikan oleh PT Medco. Padahal produksi mereka selama tujuh tahun ini salah satunya dihasilkan dari sumur-sumur kami, dari tanah kami, tetapi kami dibohongi. Jelas kami kecewa dan marah,” ujar Rasyidin.
Sementara itu, Ketua LSM Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Aceh Timur, Supridar, menilai bahwa persoalan ini merupakan potret nyata ketimpangan sosial di sekitar wilayah tambang Blok A.
“Warga sekitar tambang saat ini ibarat penonton di rumahnya sendiri. Selain persoalan uang tali asih, minimnya akses pekerjaan dan peluang berusaha pada proyek tambang Blok A semakin memperlebar kesenjangan sosial di sekitar tambang,” ujar Supridar.
Ia juga menyoroti program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM) yang dijanjikan, namun menurutnya tidak pernah sesuai dengan kebutuhan warga.
“Forum keuchik sebagai wadah bermusyawarah hanya menjadi formalitas untuk melegitimasi proses rekrutmen tenaga kerja lokal maupun program perusahaan lainnya. Forum tersebut bukan ruang dialog sejati antara warga terdampak dan pemegang modal. Ketika aspirasi masyarakat hanya dijadikan pelengkap dokumen, bukan sebagai dasar kebijakan, maka ketimpangan sosial akan terus melebar di wilayah kerja Blok A,” jelas Supridar.
Ia juga menyampaikan kekecewaan terhadap perusahaan yang dinilai tidak pernah serius melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
“Sampai hari ini, perusahaan Medco tidak pernah berupaya melakukan pemberdayaan dan perbaikan ekonomi masyarakat. Sejak keberadaan Medco, belum ada terlihat perubahan ekonomi yang lebih baik terhadap kehidupan masyarakat Aceh Timur,” tegasnya.
Supridar menambahkan, pola komunikasi perusahaan saat ini juga perlu diperbaiki.
“Semestinya tim kehumasan PT Medco saat ini mengikuti pola komunikasi manajer Relation and Security sebelumnya, di mana Rivian Pragitta acap berkomunikasi secara terbuka dengan warga di akar rumput, berupaya memperbaiki pola komunikasi, dan merencanakan program-program CSR secara partisipatif,” tutup Supridar.
 
			 
                                 
			









 
                