Aceh Barat | Tubinnews.com – Yayasan Wahana Generasi Aceh (Wangsa) menggelar diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas polemik seputar aktivitas pertambangan emas oleh PT Magellanic Garuda Kencana (MGK) di Kabupaten Aceh Barat. FGD yang berlangsung ini berjalan kondusif, meski diwarnai berbagai pandangan kritis dari peserta. Rabu (28/5/2025).
Diskusi ini menjadi sorotan mengingat meningkatnya kekhawatiran masyarakat sipil terhadap dampak lingkungan, sosial, serta dugaan pelanggaran administratif oleh perusahaan tambang yang telah lama beroperasi di wilayah tersebut. Wangsa, sebagai penyelenggara, menyebut forum ini sebagai langkah awal untuk menggali informasi langsung dari pemangku kepentingan sebelum menyampaikan rekomendasi kebijakan secara resmi.
FGD tersebut dihadiri oleh berbagai pihak dari lintas sektor. Hadir antara lain Ahmad Yani, anggota DPRK dari daerah terdampak; Azhari, akademisi Universitas Teuku Umar sekaligus Ketua Forum Komunitas Muda Barat Selatan Aceh (KMBSA); serta Muhammad Nur, Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), yang turut menyuarakan perlunya pengawasan ketat terhadap investasi yang tidak berpihak pada masyarakat lokal.
Turut hadir pula perwakilan lembaga mahasiswa seperti Presiden Mahasiswa UTU Putra Rahmat, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa UTU Arie Gucci, Ketua DEMA STAIN TDM, ketua HIMMA UTU Fernandi, Ketua BEM AKN Tunnani, dan Ketua BEM Ekonomi UTU Sahirman. Dari unsur pemerintah daerah, FGD diikuti oleh Dede dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Aceh Barat, Aharis dari DPMPTSP Aceh Barat, Kepala Bidang Tenaga Kerja dari Dinas Transnaker Aceh Barat, serta Kharisma dari Imigrasi Kelas II Meulaboh.
Pihak perusahaan PT MGK turut hadir dalam forum tersebut, perwakilan lainnya yang hadir juga masyarakat sipil seperti Forum Kota Meulaboh (Forkot) dan Forum Masyarakat Aceh Barat (Format).
Ketua Umum Wangsa, Jhony Howord, mengatakan bahwa diskusi ini digelar untuk mendengar secara langsung informasi dan pandangan dari berbagai aktor yang berkaitan dengan keberadaan PT MGK di Aceh Barat.
“Tujuan kami adalah menyusun rekomendasi yang berdasarkan fakta dan masukan objektif. Karena ini menyangkut hajat hidup masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.
Jhony juga menjelaskan bahwa karena keterbatasan waktu dan kompleksitas isu yang dibahas, pembahasan belum tuntas dalam satu forum. Untuk itu, Wangsa akan melanjutkan rangkaian audiensi dengan para pihak yang terlibat.
“Setelah seluruh audiensi selesai, kami akan merangkum hasilnya dalam bentuk laporan dan rekomendasi resmi dalam sepuluh hari ke depan,” tambahnya.
Meski belum diungkap secara rinci isi diskusinya, FGD ini menandai meningkatnya tekanan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas sektor pertambangan di Aceh. Selama ini, aktivitas tambang kerap dikritik karena minim kontribusi terhadap masyarakat lokal, sementara dampak negatifnya terhadap lingkungan dan sosial tidak jarang dibiarkan tanpa tindak lanjut berarti.
Sejumlah aktivis dan pemuda menyatakan apresiasi terhadap inisiatif Wangsa yang mencoba menjembatani diskusi antar aktor, tetapi menegaskan bahwa langkah ini harus diikuti dengan tindakan nyata.
“Kita akan lihat apakah rekomendasi yang dikeluarkan nanti akan berdampak atau hanya jadi dokumen seremonial,” ujar Putra Rahmat, Presiden Mahasiswa UTU.