Oleh: Rasmanudin H. Rahamin, SE., MM
Tubinnews.com – Hari ini Allah memperkenankan saya berdiri di ruang wisuda, mengenakan toga, dan menerima gelar Magister yang saya perjuangkan dengan waktu, pikiran, dan doa. Hari ini adalah hari yang seharusnya penuh senyum, foto, pelukan, serta kebanggaan.
Namun di balik toga hitam yang saya kenakan, hati saya justru memilih pulang setengah diri saya berada di Simeulue di tanah kelahiran saya, di tengah rakyat yang saya cintai, yang saat ini sedang diuji oleh gempa bumi berkekuatan 6,5 SR.
Kamis, saat saya terbang menuju Medan untuk mengikuti prosesi kelulusan ini, kabar itu datang menghentak seperti petir yang membelah langit.
Rumah-rumah warga retak dan roboh, fasilitas umum rusak, masjid tempat sujud dan berdoa mengalami kerusakan, dan lebih menyayat hati, banyak saudara kita yang terluka serta menangis dalam kepasrahan. Tidak ada suara tepuk tangan, tidak ada topi toga yang dilempar ke udara, dan tidak ada kebahagiaan wisuda yang mampu meredam rasa pilu itu di dada saya.
Hari ini saya dinyatakan lulus sebagai seorang Magister. Namun saya sadar, di mata Allah kelulusan sejati bukanlah saat kita berdiri di atas podium, melainkan ketika kita tetap hadir untuk rakyat dalam suka maupun duka. Maka izinkan saya menyampaikan dari lubuk hati terdalam:
Saya berduka bersama kalian.
Saya menangis bersama kalian.
Saya tidak pernah jauh dari kalian.
Allah SWT mengajarkan bahwa setiap ujian bukanlah hukuman, melainkan tanda cinta agar hamba-Nya kembali menguat dan mendekat. Sebagaimana firman-Nya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
Maka wahai keluarga besar Simeulue, mari kita kembali tegak. Kita adalah masyarakat yang pernah berdiri melawan gelombang besar Smong yang menggemparkan dunia. Kita pernah mengajarkan kepada manusia di seluruh penjuru bumi bahwa kearifan lokal bisa menjadi penyelamat ribuan nyawa.
Kini tanah kita kembali berguncang, tetapi saya yakin: rakyat Simeulue tidak akan pernah patah.
Kita akan bangkit. Kita akan membangun kembali rumah, masjid, sekolah, dan jalan-jalan kita.
Kita akan saling menguatkan karena kita berasal dari tanah yang sama, darah yang sama, dan doa yang sama.
Dari kota perantauan ini, dengan toga yang basah oleh haru, saya mengirimkan doa yang paling tulus untuk negeri tercinta:
Ya Allah… kuatkanlah rakyatku.
Sembuhkanlah luka mereka.
Ringankanlah duka mereka.
Dan gantilah setiap kehilangan dengan rahmat-Mu yang lebih luas dari langit dan bumi.
Namun di balik musibah ini, saya ingin menyampaikan pesan penting kepada seluruh anak muda, khususnya generasi dari pulau, pesisir, dan kepulauan: Raihlah pendidikan setinggi-tingginya. Jangan pernah merasa malu atau rendah diri untuk bersaing, bersanding, bahkan memimpin bersama mereka yang disebut elit. Kita boleh lahir dari rumah kayu, tetapi mimpi kita harus setinggi terbangnya burung rajawali. Kita mungkin tumbuh di tepi pantai, tetapi cita-cita kita harus bisa menjelajah dunia.
Pendidikan adalah pendorong utama kapal kehidupan kita. Dengan pendidikan, kita dapat menaklukkan dunia yang hari ini kian modern dan penuh kecanggihan. Pendidikan mengubah cara berpikir, memperluas jendela mimpi, menguatkan karakter, dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Sebagai anak pulau, kita tidak kekurangan kecerdasan. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk melangkah lebih jauh dan keyakinan bahwa masa depan terbuka luas untuk mereka yang berjuang. Jadikan buku sebagai perahu, ilmu sebagai layar, dan doa sebagai angin yang mendorong kita berlayar lebih jauh ke samudra peradaban.
Saya pulang bukan hanya membawa gelar, tetapi membawa tekad yang lebih besar: menjadi bagian dari pembangunan Simeulue, tanah yang membesarkan saya, tanah yang akan selalu menjadi rumah bagi hati dan pengabdian saya.


















