Banda Aceh | TubinNews.Com – Pemerintah berencana menambah pengerahan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tiga wilayah yang berjuluk center of gravity keamanan nasional, yakni Jakarta, Aceh, dan Papua. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya menjaga stabilitas nasional serta mempercepat pembangunan.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menjelaskan bahwa kebijakan ini dibuat seiring meningkatnya potensi ancaman yang dapat mengganggu kegiatan sosial, ekonomi, dan pembangunan.
“Ketiga wilayah itu memiliki nilai strategis berbeda. Jakarta dipandang sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Aceh diprioritaskan sebagai titik pengamanan barat Indonesia, sementara Papua titik pengamanan sebelah timur,” jelasnya, yang dikutip TubinNews.Com, Selasa (25/11/2025).

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025). (Kumparan/Nasywa Athifah)
Sjafrie menambahkan, ada 514 kabupaten dan aset vital nasional yang punya pengaruh besar terhadap kedaulatan negara. Untuk itu, ia menilai, pemerintah dituntut memperkuat TNI.
“Dari tahun 2025, kita sudah memulai pembangunan kekuatan ini. Di mana saat ini di tahun 2025, kita sudah memiliki 150 batalyon Tentara Nasional Indonesia yang kita sebut Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan. Dan ini akan terus kita tingkatkan setiap tahunnya pada jumlah 150 batalyon per tahun,” katanya, dikutip dari SindowNews.Com.
“Penguatan pasukan dilakukan untuk memastikan stabilitas tetap terjaga agar program pembangunan nasional dapat berjalan tanpa gangguan,” tambahnya.
Pembangunan kekuatan TNI itu merupakan bagian dari implementasi Optimum Essential Force (OEF) yang menjadi amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, untuk mewujudkan postur pertahanan nasional yang adaptif dan modern.
“Melalui Rakor ini, Kemenko Polkam memastikan arah pembangunan kekuatan TNI tahun 2025-2029 berjalan terpadu dan sejalan dengan kebijakan pertahanan nasional yang diamanatkan dalam RPJMN,” ujar Asdep Koordinasi Kekuatan, Kemampuan, dan Kerja Sama Pertahanan Kemenko Polkam Brigjen TNI (Mar) Kresno Pratowo, pada Jumat (31/10/2025) lalu.
Penolakan Penambahan 5 Batalyon di Aceh pada Bulan Juli

Aksi demontrasi di depan Kantor Gubernur Aceh tolak pembangunan dan penambahan batalyon di Aceh, Senin, 7 Juli 2025. (AJNN/Julinar Nora)
Namun penambahan tentara sudah pernah dilakukan di Aceh. Pemerintah Pusat menambahkan Komando Daerah Militer (Kodam) terdiri lima Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan (Yonif TP) dan satu Brigade Infanteri (Brigif) yang telah resmi beroperasi sejak Juli lalu di bawah komando Kodam Iskandar Muda
Hasil penelusuran TubinNews.Com Kodam tersebut diantaranya Batalyon Yonif TP 853/Bawar Reje Bur (Aceh Timur), Brigif TP 90/Yudha Giri Dhanu dan Yonif TP 854/Dharma Kersaka (Aceh Tengah), Yonif TP 855/Raksaka Dharma (Gayo Lues), Yonif TP 856/Satria Bumi Sakti (Nagan Raya), Yonif TP-857/Gana Gajahsora (Pidie).
Penambahan pasukan tersebut mendapat penolakkan keras dari berbagai kalangan masyarakat Aceh. Salah satunya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Haji Uma.
Ia mengatakan bahwa Aceh saat ini bukan lagi zona perang dan masyarakat saat ini hidup dalam suasana damai, kehadiran militer dalam jumlah besar bisa menimbulkan trauma baru, khususnya di wilayah-wilayah yang pernah terdampak konflik.
“Masyarakat Aceh tidak alergi terhadap TNI, namun ekspansi kekuatan militer harus dilakukan dengan memperhatikan sensitivitas sejarah dan sosial masyarakat”, ujar Haji Uma, dikutip dari laman resmi DPD RI.
Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar, menyatakan pembentukan lima batalyon di Tanah Rencong tersebut telah melanggar butir dalam MoU Helsinki.
“MoU pada butir 4.7. telah menyepakati jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi, butir 4.8. juga menyepakati tidak akan ada pergerakan tentara besar-besaran, serta pada butir 4.11. juga menyebutkan dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh,” ucapnya, dilansir dari InfoAceh.Net.

Menukil dari laman resmi KontraS Aceh, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, pembangunan batalyon ini telah mengabaikan semangat perdamaian Aceh pasca penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada tahun 2005 silam.
“MoU Helsinki secara eksplisit telah membatasi jumlah personel militer dan kepolisian organik di Aceh. Bisa kita lihat poin 4.7 berbunyi jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang,” Jelasnya.















