Banda Aceh | TubinNews.Com – Penulis Eka Kurniawan membagikan kisah awal perjalanannya sebagai penulis dalam acara “Saleum Teuka: Bedah Buku Eka Kurniawan” yang digelar di Gramedia Banda Aceh. Dalam kesempatan tersebut, ia mengajak peserta untuk melihat kembali masa-masa awal dirinya menekuni dunia kepenulisan.
“Awalnya cuma nulis hal-hal sederhana karena imajinasi dan pengetahuan saya juga terbatas,” ujar Eka membuka cerita.
Minatnya terhadap sastra semakin berkembang ketika ia kerap menghabiskan waktu di perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (IPK). Di sana, ia menemukan satu sudut baca bernama American Center yang menyediakan berbagai koleksi sastra. “Isinya banyak sastra, dan dari situ saya makin banyak baca,” katanya.
Eka juga menuturkan bahwa ia sering berdiskusi dengan mahasiswa sastra di kantin Z-Point B Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat yang menurutnya memperluas perspektifnya tentang dunia literasi. “Dari merekalah saya tahu buku-buku Pram. Akhirnya coba baca dan ketagihan,” ungkapnya.
Meski semakin akrab dengan dunia sastra, Eka mengaku tidak memiliki mentor dalam menulis novel. Ia kemudian memulai dengan mengirimkan cerpen ke berbagai media. Sejumlah cerpennya dimuat pada 1999 hingga 2000 dan kemudian dibukukan menjadi Corat-coret di Toilet. “Zaman itu nggak ada kelas menulis. Nggak ada yang ngajarin gimana caranya nulis novel,” jelasnya.
Setelah merasa lebih percaya diri, ia mulai menulis novel dan menerbitkan karya pertamanya pada 2002 berjudul Cantik itu Luka. Eka menyebut bahwa ekosistem penerbit independen di Yogyakarta saat itu menjadi ruang penting bagi penulis-penulis muda. “Di Jogja waktu itu semangatnya besar, meski skalanya bukan industri besar,” katanya.
Dalam prosesnya, Eka mengaku pernah menawarkan naskah novel pertamanya ke lima penerbit, tiga di Yogyakarta dan dua di Jakarta namun semuanya menolak. “Lima-limanya nolak dengan berbagai alasan,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Eka pernah disuruh untuk mengubah tulisannya, akan tetapi ia tetap dengan pendiriannya bahwa tulisannya akan mendapat peminatnya sendiri. Meski sempat merasa berat, ia tetap melanjutkan proses kreatifnya hingga akhirnya menerbitkan novel tersebut melalui penerbit independen milik temannya.
“Waktu itu saya masih muda, pengen tetap semangat, meski rasanya susah juga. Pada akhirnya 20 tahun berlalu, tetapi buku saya sampai sekarang masih banyak mengundang pembaca baru,” tuturnya.


















