JAKARTA | TUBINNEWS.COM // Menjelang peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada tanggal 9 Desember mendatang, Aktivis Muda Sumatera Utara Ariswan, menyoroti Komitmen Pemerintahan Presiden Prabowo tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di duga hanya omon-omon.
Ia menilai momentum Hakordia seharusnya menjadi refleksi nasional terhadap arah penegakan hukum yang adil, objektif, dan bebas dari kepentingan politik.
Ariswan menegaskan bahwa peringatan Hakordia bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen penting untuk mengoreksi arah dan integritas lembaga penegak hukum.
“Sebentar lagi kita memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia. Ini seharusnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk mempertegas komitmen terhadap supremasi hukum, bukan hanya menampilkan jargon moral di media massa,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Tubinnews.com selasa 11 November 2025.
Dalam pernyataannya, Ariswan mendesak Presiden Prabowo dan DPR RI untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga masih melakukan praktik tebang pilih dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
“Pemberantasan korupsi seharusnya tidak mengenal siapa pelakunya. Jika ada indikasi kuat, KPK wajib bertindak sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam konteks hukum, asas persamaan di depan hukum equality before the law harus ditegakkan,” tegas Ariswan.
Ariswan juga menilai penegakan hukum KPK terhadap sejumlah kepala daerah terkesan diskriminatif. Ia mencontohkan perbedaan perlakuan dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Provinsi Riau dan Kolaka Timur yang menjerat kepala daerah, dibandingkan dengan kasus di Sumatera Utara yang menyeret pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi namun tidak menyentuh Gubernur Sumatera Utara yang notabene adalah atasan langsung dari pejabat yang terlibat dugaan korupsi jalan di Sumut.
“Coba kita amati OTT yang di lakukan KPK di Riau dan Kolaka Timur, di sana kepala daerahnya langsung diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi di Sumatera Utara, kepala daerahnya tidak tersentuh sama sekali, Kalau berani buktikan tangkap. Padahal posisinya sebagai penanggung jawab tertinggi dalam proyek-proyek yang sedang disidik. Ini sangat janggal. Di negeri yang katanya ingin memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, ternyata hukum masih bisa menunduk pada kekuasaan,” ujar Ariswan.
Lebih lanjut ia menyampaikan, jika pola penegakan hukum seperti ini terus dipertahankan, maka ini merupakan tanda bahaya serius bagi masa depan hukum dan demokrasi di Indonesia.
“Jika penegakan hukum dibiarkan tunduk pada kepentingan politik dan kekuasaan, maka ini alarm kehancuran bagi sistem hukum nasional. Korupsi tidak akan pernah berkurang, justru akan tumbuh subur di tengah lemahnya integritas aparat penegak hukum,” pungkasnya.
Ariswan berharap momentum Hakordia 2025 menjadi titik balik bagi bangsa ini untuk menegakkan kembali marwah hukum yang berkeadilan dan menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK.
“Peringatan Hakordia harus menjadi momen introspeksi nasional, bukan panggung pencitraan. Karena sejatinya, melawan korupsi berarti menegakkan kembali kehormatan bangsa,” tutup Ariswan.(Red)









